Minggu, 29 Oktober 2017

INTELEGENSI



  

INTELIGENSI


Ø  Pengertian Intelegensi
-          Menurut bahasa Intelegensi diartikan sebagai kemampuan umum dalam memahami hal-hal yang abstrak.[1]
-          Menurut istilah Intelegensi dapat didefinisikan sebagai kesanggupan seseorang untuk beradaptasi dalam berbagai situasi dan dapat diabstraksikan pada suatu kualitas yang sama. Disamping itu, ada beberapa tokoh dalam memberikan pemahaman intelegensi, yaitu :
a.       Stern , adalah kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi baru.
b.      Terman , yaitu kesanggupan untuk belajar secara abstrak.
c.       Dearborn , adalah kesanggupan untuk belajar dari pengalaman.
d.      Binet , yaitu pengertian penemuan sesuatu yang baru , ketetapan hati dan pengeritikan diri sendiri.
e.       Thurstone, yaitu suatu kesanggupan secara keseluruhan, meliputi sejumlah kesangguapan khusus atau disebut primery mental abilities sebagai kesanggupan untuk cepat dan teliti melihat sesuatu akan kesamaan dan perbedaan, juga kesanggupan untuk mengerti dan memakai bahasa kesanggupan untuk berfikir secara deduktif dan induktif dan lain-lain.
Bertolak dari beberapa pengertian tersebut, maka kesanggupan seseorang untuk beradaptasi dalam berbagai situasi dan dapat diabstraksikan pada suatu kualitas yang sama disebut intelegensi. Dengan demikian, intelegensi bukan suatu kekuatan atau suatu daya melainkan suatu pengertian atau konsep. Dengan kata lain, intelegensi merupakan perbuatan ataupun aktivitas atau reaksi di bidang mental dan fisik dijalankan secara cepat, gampang, serasi atau sempurna dapat diukur dengan prestasi.[2] Rasulullah saw. mendefinisikan kecerdasan dengan menggunakan kata al-kayyis, sebagaimana dalam hadits berikut yang artinya : “ Dari Syaddad Ibn Aus, dan Rasulullah saw. Bersabda : orang yang cerdas adalah orang yang merendahkan dirinya dan beramal untuk persiapan sesudah mati. (H.R. At-Tirmidzi)ˮ.

Ø  Pengukuran Intelegensi
Semenjak para ahli psikologi mulai mengadakan cara pendekatan secara empiris, maka pengukuran intelegensi telah banyak menarik para ahli, terlebih-lebih setelah gerakan pengukuran dalam lapangan psikologi maju dengan pesat. Dalam pembahasan mengenai pengukuran intelagensi ini pada hemat penulis jalan yang paling baik ialah secara historis, jadi mengemukakan sejarah usaha para ahli dalam bidang ini, yang sekaligus juga menunjukkan teknik-teknik yang dipergunakan dalam penyelidika atau pengukuran inteligensi , serta penilaian mengenai usaha-usaha tersubut.
      Kalau kita menempuh cara historis ini, maka secara teknis dapat kita lalui dua jalan, yaitu:
1)      Mengemukakan sejarah perkembangan usaha para ahli dalam bidang ini, dengan maksud memberikan gambaran yang bersifat umum mengenai persoalannya, dan
2)      Mengemukakan sejarah perkembangan tes intelegensi model Binet, karena model inilah sampai dewasa ini dianggap oleh kebanyakan ahli sebagai yang paling baik, dan karenanya juga yang paling banyak dipakai, terutama untuk menyelidiki anak-anak yang masih muda .[3]
Pengukuran test Intelegensi secara umum, dalam hal ini mengalami beberapa fase  (Suryabrata, 1995:140-150), antara lain :
a.       Fase persiapan, hal ini terjadi kurang lebih sampai tahun 1915. Pada saat itu para ahli sedang berusaha untuk mendapatkan model atau bentuk yang akan digunakan untuk test intelegensi, dan usaha yang diperolehnya baru bersifat konsep. Karena itu, (konsep) belum dapat diterapkan atau diaplikasikan ketika akan melakukan test intelegensi.
b.      Fase naïf, atau pengguna test intelegensi yang sudah tersusun tanpa adanya kritikan. Perlu diketahui, bahwa fase ini terjadi ± tahun 1915 hingga ± tahun 1935, dimana para ahli berupaya untuk menggunakan hasil rancangan test intelegensi yang sudah tersusun dalam berbagai hal kehidupan, sesuai dengan ruang lingkup yang akan dibahas dalam test tersebut.
c.       Fase mencari test yang bebas dari pengaruh kebudayaan melalui bahasa, fase ini diprakarsai oleh Goodenoungh dan Porteus. Setelah sekian lama test intelegensi yang bersifat naïf telah dilakukan, maka timbul untuk mengevaluasinya. Sebagai hasilnya, bahwa hasil test intelegensi bukanlah suatu hal yang serba menentukan, tetapi masih banyak kelemahan-kelemahannya, terutama berasal dari pengaruh kebudayaan melalui bahasa. Untuk mengatasinya, maka para ahli berupaya untuk membuat model test intelegensi yang bebas dari kebudayaan sehingga unsure kebudayaan (melalui bahasa) sama sekali tidak menghambatnya.
d.      Fase kritis atau masa sekarang, terjadi sejak ± tahun 1950 hingga sekarang. Setelah berbagai cara dilakukan dalam memberikan bentuk test intelegensi mengalami kegagalan, maka para ahli tetap berupaya untuk mendesainnya sebagai alat untuk mengukur kemampuan seseorang meskipun sangat terbatas kegunaannya dan masih ada kelemahan-kelemahannya.[4]

v  Test Intelegensi Model Binet
Dalam hal ini ada 2 tokoh yang berhasil dalam mengembangkan suatu cara penyusunan pengukuran inteligensi , yaitu Alfred Binet dan St. Simon. Ide ini telah dirintis sejak tahun 1890 oleh Alfred Simon, dan hasil yang dicapainya pada tahun 1905 meskipun belum sempurna. Untuk mengembangkan hasil test inteligensi yang lebih sempurna, maka Alfred dibantu oleh St.Simon yang hasil penyempurnaannya diterbitkan pada tahun 1908 dengan sebutan lebih dikenal test Binet-Simon. Test ini dengan memperhitungkan :
a.       Umur Kronologis ( chronological age disingkat C.A ) yaitu umur seseorang yang sebenarnya atau menurut hari kelahirannya atau lamanya yang bersangkutan hidup.
b.      Umur Mental ( mental age disingkat M.A ) yaitu umur kecerdasan yang ditunjuk sebagai hasil test kemampuan akademik.
Adapun cara yang digunakan dalam pengukuran intelegensi seseorang pada golongan normal, dibawah normal atau diatas normal dengan menggunakan pedoman selisih tetap.
Artinya (apabila) M.A.nya 3 tahun diatas atau dibawah dari C.A., maka M.A.nya dinyatakan normal. Untuk memahami pedoman tersebut, perhatikan contoh sebagai berikut :
Ahmad berusia 7 tahun, setelah ditest I.Q. ternyata dia hanya mampu menyelesaikan soal untuk usia 4 tahun atau 3 tahun (M.A.nya). Dengan demikian, penggolongan I.Q.nya dibawah normal. Tetapi bila ahmad M.A.nya berusia 6 tahun atau 5 tahun (selisih 1 atau 2 tahun), maka dia termasuk golongan anak yang normal.
Bertolak dari hasil ini, maka cara pengukuran I.Q.( intelegensi) disempurnakan lagi pada tahun 1911 dengan nama test intelegensi Binet-Simon yang dipakai sampai sekarang. Adapun cara baru yang digunakan dengan menggunakan pedoman perbandingan tetap, antara umur kronologis (C.A.) dengan umur mental (M.A.) seseorang. Dengan demikian, tingkat intelegensi ditentukan dengan perbandingan kecerdasan ( umur mental dibandingkan dengan umur kronologis ) disebut I.Q (Intellegence Quotient) dengan rumus :
I.Q = M.A. : C.A.
Rumus ini biasanya memperoleh nilai bilangan pecahan dan hasilnya kemungkinan terjadi kekeliruan. Untuk memperoleh dan memudahkan hasilnya, maka rumus tersebut diperbanyak suatu nilai (100%) yang tidak mengubah perbandingannya, sehingga menjadi rumus sebagai berikut : [5]
I.Q. =  
Tes Binet direvisi berkali-kali untuk disesuaikan dengan kemajuan dalam pemahaman inteligensi dan tes inteligensi. Revisi-revisi ini disebut Standford-Binet (sebab revisi itu dilakukan di Stanford University). Dengan melakukan tes untuk banyak orang dari usia yang berbeda dan latar belakang yang beragam, peneliti menemukan bahwa skor pada tes Stanford-Binet mendekati distribusi normal. Test Stanford-Binet kini dilakukan secara individual untuk orang dari usia 2 tahun hingga dewasa. Tes ini banyak memuat item, beberapa diantaranya membutuhkan jawaban verbal, yang lainnya respons nonverbal. Misalnya, item yang mencerminkan level kinerja usia 6 tahun pada test itu adalah tes kemampuan verbal untuk mendefinisikan setidaknya 6 kata, seperti jeruk dan amplop, dan kemampuan nonverbal untuk menelusuri suatu jalur yang ruwet. Item yang merefleksikan level kinerja dewasa antara lain tes pendefinisian kata seperti disproporsional dan hormat, tes menjelaskan pepatah, dan membandingkan antara pengangguran dan kemalasan.[6]
Edisi keempat tes Standford-Binet dipublikasikan pada 1985. Salah satu penambahan penting pada versi ini adalah analisis respon individual dari segi empat fungsi : penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, dan memori jangka pendek. Skor komposit umum masih dipakai untuk mengetahui keseluruahan inteligensi.[7]
            Materi yang terdapat dalam skala Stanford–Binet berupa sebuah kotak berisi bermacam-macam benda mainan tertentu yang akan disajikan pada anak-anak, dua buah buku kecil yang memuat cetakan kartu-kartu, sebuah buku catatan untuk mencatat jawaban dan skornya, dan sebuah petunjuk pelaksanaan pemberian tes. Tes-tes dalam skala ini dikelompokkan menurut berbagai level usia, mulai dari usia 2 tahun sampai dengan usia dewasa. Dalam masing-masing tes untuk setiap level usia berisi soal-soal dengan taraf kesukaran yang tidak jauh berbeda. Skala Stanford–Binet dikenakan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan oleh pemberi tes. Skala ini tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa, sekalipun terdapat level usia dewasa dalam tesnya, karena level tersebut merupakan level intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batas-batas usia mental yang mungkin dicapai oleh anak-anak. Versi terbaru skala Stanford-Binet diterbitkan pada tahun 1986. Dalam revisi terakhir ini konsep intelegensi dikelompokkan menjadi empat tipe penalaran yang masing-masing diwakili oleh beberapa tes yaitu sebagai berikut : [8]
INTELEGENSI
Penalaran
verbal
Penalaran
kuantitatif
Penalaran
visual abstrak
Penalaran
jangka pendek
Kosakata
Tes kuantitatif
Melipat kertas
Memori kalimat
Keganjilan
Rangkaian angka
Mengkopi
Memori sajian urutan benda

Bertoalak dari rumus tersebut, maka ada beberapa ha yang harus diperhatikan oleh para pendidik ketika akan megajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh para peserta didik atau criteria aktifitas yang dilakukan, antara lain :
1)      Soal yang harus dijawab oleh peserta didik harus mempunyai tingkat kesulitan, dimulai dari tingkat yang termudah sampai tersulit. Begitu juga bila persoalannya berbentuk perbuatan atau aktivitas, maka aktivitas yang dikerjakan pun harus berjenjang, sesuai dengan tingkatan anak usia didik.
2)      Soal yang harus dijawab atau aktvitas yang dilakukan oleh peserta didik , hendaknya serasi , setujuan, dan ekonomis (waktu). Maksudnya , ketika anak didik akan menjawab beberapa pertanyaan atau melakukan kegiatan yang sudah ditentukan, maka mereka tidak dapat melakukan / menjawab secara sembarangan, tetapi tetap membaca dan memahami soal lebih dahulu, selanjutnya memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaannya.
3)      Jawaban dari beberapa soal yang terjawab sedikit banyak harus menunjukkan keaslian kemampuan yang dimilikinya, baik melaui pengetahuan dan pengalaman yang disampaikan melaui lisan atau tertulis. Tentunya pengetahuan dan pengalaman dapat dimanfaatkan, bukan hanya bersifat menghafal meniru-niru orang lain, melaikan dapat menemukan jalan keluarnya, serta dapat menyesuaikan diri pada situasi yang baru.
4)      Soal-soal yang harus dijawab atau aktivitas yang dilakukan kerapkali mempergunakan daya mengabstaksikan, sehingga berbagai tanggapan dan ingatan sangat diperlukan kehadirannya.
5)      Jawaban atau aktivitas yang dilakukan harus disertai dengan pengendalian (seperti perasaan iba, simpati, acuh tak acuh, antipasti dan lain-lain), hal ini merupakan penggerak dari perbuatan ( baik atau jelek) manusia. Oleh karena itu, unsure objektif dalam menjawab pertanyaan atau aktivitas yang dikerjakan sangat diperlukan bila menginginkan jawaban atau aktivitas yang lebih mengandalkan I.Q, sehingga unsure perasaan lebih dijauhi.
6)      Jawaban atau aktivitas yang dikerjakan selalu memerlukan pemusatan perhatian, sehingga dapat terselesaikan persoalan yang dihadapinya, terlebih pada persoalan yang dianggap sulit dan memerlukan perhatian yang khusus.[9]
Tingkatan Intelegensi :
Bertolak  pada model pengukuran diatas , maka intelegensi dalam ukuran kemampuan intelektual atau tataran kognitif atau kecerdasan yang mempengaruhi individu dalam belajar atau meraih kesuksesan dalam dalam hidupnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan. Untuk mengetahui penjelasan lebih rinci, akan dijelaskan dalam table berikut ini[10] :
Pendapat Minn, N.L.( dalam Mangkunegara, 1993:32)

NO
IQ
( Intelligence Question )

TARAF INTELEGENSI
1
140 – ke atas
Jenius ( very superior )
2
130 – 139
Sangat cerdas ( very superior or gifted )
3
120 – 129
Cerdas ( superior )
4
110 – 119
Di atas normal ( high average or above average )
5
90 – 109
Normal ( normal or average )
6
80 – 89
Di bawah normal ( low normal or below average )
7
70 – 79
Bodoh ( dull ar borderline defective )
8
50 – 69
Terbelakang ( maron or debil )
9
49 ke bawah
Terbelakang ( imbecile or idiot )

v  Test Intelegensi Model Wechsler
Dengan makin populernya tes inteligensi sebagai alat untuk mengetahui ( mengukur ) perbedaan antara individu yang satu dan individu yang lain yang dipandang dari segi intelegensi, maka makin terasalah kebutuhan akan adanya tes intelegensi yang sesuai untuk mentes orang dewasa, dan ini mendorong banyak ahli untuk berusaha menyusunnya.
 Tes yang telah populer , yaitu tes Binet, tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, karena tes Binet memang disusun untuk anak-anak, walaupun ada juga item-item yang dimaksudkan untuk digunakan pada orang dewasa. Kecuali itu memang ada hal-hal pada inteligensi orang dewasa yang belum masuk perhitungan pada tes Binet, seperti misalnya hal “ menurunnya inteligensiˮ. Gejala ini, yang oleh Wechsler disebut mental deterioration tidak dapat dilayani (diperhatikan) apabila orang mempergunakan tes Binet yang hanya mempunyai satu jenis skala untuk orang dewasa. Kecuali itu menurut Wechsler skala umur juga kurang memadai. Karena itulah maka disusun skala yang khusus untuk orang dewasa yang mempergunakan skala nilai[11].
Tes lainnya yang banyak dipakai untuk menilai intelegensi dinamakan skala Wechsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini mencakup Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence-Revised (WPPSI-R) untuk menguji anak 4 sampai 6 ½ tahun; Wechsler Intelligence Scale for Children-Revised (WISC-R) untuk anak dan remaja dari usia 6 hingga 16 tahun dan Wechsler Adult Intelligence Scale-Revised (WAIS-R). Selain menunjukkan IQ keseluruhan, skala Wechsler juga menunjukkan IQ verbal dan IQ kinerja. IQ verbal didasarkan pada enam subskala verbal, IQ kinerja didasarkan pada lima subskala kinerja. Ini membuat peneliti bisa melihat dengan cepat pola-pola kekuatan dan kelemahan dalam area intelegensi yang berbeda-beda (Woolger, 2001). [12]
*      Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)
WAIS merupakan alat pemeriksaan intelegensi yang bersifat individu. WAIS merupakan alat tes yang paling populer karena paling banyak digunakan di dunia saat ini. Semula bernama Wechsler Bellevue Intellegence Scale (WBIS). Tes intellegensi ini (WAIS) memiliki enam subtes yang terkombinasikan dalam bentuk skala pengukuran ketrampilan verbal dan lima subtes membentuk suatu skala pengukuran ketrampilan tindakan.

Tabel 2. Subtes dalam WAIS – R versi 1981


                          Skala Verbal

                      Skala Performansi

Information (informasi)
Digit Span (rentang angka)
Vocabulary (kosakata)
Arithmetic (hitungan)
Comprehension (pemahaman)
Similarities (kesamaan)

Picture completion (kelengkapan gambar)
Picture arrangement (susunan gambar)
Block design (rancangan balok)
Object assembly (perakitan objek)
Digit symbol (simbol angka)


*      The Wechsler Intelligence Scale for Children – Revised (WISC – R)
Revisi skala WISC yang dinamai WISC-R diterbitkan tahun 1974 dan dimaksudkan untuk mengukur intelegensi anak-anak usia 6 sampai dengan 16 tahun, sebagaimana penggunaan WISC generasi terdahulu. WISC-R terdiri atas 12 subtes yang dua diantaranya digunakan hanya sebagai persediaan apabila diperlukan penggantian subtes. Keduabelas subtes tersebut dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu skala verbal dan skala performansi.

Tabel 1. Subtes dalam WISC-R versi 1974


                          Skala Verbal

                      Skala Performansi

Information (informasi)
Comprehension (pemahaman)
Arithmetic (hitungan)
Similarities (kesamaan)
Vocabulary (kosakata)
Digit Span (rentang angka


Picture completion (kelengkapan gambar)
Picture arrangement (susunan gambar)
Block design (rancangan balok)
Object assembly (perakitan objek)
Coding (sandi)
Mazes


Subtes Rentang Angka merupakan subtes pelengkap yang hanya dipergunakan apabila salah satu diantara subtes verbal lainnya, karena sesuatu hal semisal kekeliruan pemakaian, tidak dapat digunakan. Subtes mazes dapat digunakan sebagai pengganti subtes Sandi atau dapat pula digunakan sebagai pengganti subtes performansi manapun yang tidak dapat dipakai. Dengan demikian, skor subjek tetap didasarkan atas lima subtes dari skala verbal dan lima subtes dari skala performansi.
Keunikan dari WISC-R adalah urutan penyajian subtesnya. Tidak seperti WAIS ataupun versi WISC terdahulu yang urutannya selalu penyajian semua subtes verbal kemudian diikuti semua subtes performansi, penyajian subtes dalam WISC-R dilakukan berganti-ganti antara satu subtes verbal dan satusubtes performansi. [13]


Ø  Teori Multiple Intelligences
Dari berbagai hasil penelitian maka ada berbagai jenis kecerdasan lain selain kecerdasan intelektual (IQ) yang digunakan oleh manusia untuk mencapai puncak prestasi. Menurut Gardner[14] kemampuan kecerdasan dapat ditingkatkan dan dimanfaatkan jika dapat dibina dan dipelihara dalam lingkungan yang tepat. Kecerdasan itu disebutnya dengan istilah Multiple intelligence (kecerdasan ganda). Secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut :
1.      Spatial ; kemampuan mempersepsi dunia ruang-visual secara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut.
2.      Logical-Mathematical ; kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan bilangan serta kemapuan untuk berfikir rasional.
3.      Linguistic ; kepekaan terhadap suara , ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi bahasa.
4.      Musical ; kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme, nada dan bentuk-bentuk ekspresi music.
5.      Bodily Kinesthetic ; kemampuan untuk mengontrol gerakan tubuh dan mengenai objek-objek secara terampil.
6.      Interpersonal ; kemampuan untuk mengamati dan merespons suasana hati, temperamen, dan motivasi orang lain.
7.      Intrapersonal ; kemampuan untuk memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan serta inteligensi.[15]
8.      Keahlian naturalis, kemampuan untuk mengamati pola-pola di alam dan memahami sistem alam dan sistem buatan manusia ( petani, ahli botani, ahli ekologi, ahli tanah).
Gardner percaya bahwa masing-masing bentuk intelegensi dapat di hancurkan oleh pola kerusakan otak tertentu, yang masing-masing melibatkan keahlian kognitif yang unik, dan masing-masing tampak dalam cara unik baik di dalam diri orang berbakat atau idiot ( individu yang mengalami retardasi mental tetapi punya bakat hebat dalam domain tertentu, seperti music , melukis atau penghitungan numeric).[16]
Kecakapan potensial seseorang hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indicator-indikatonya. Jika kita perhatikan penjelasan tentang aspek-aspek intelegensi di atas maka pada dasarnya indicator kecerdasan akan mengerucut ke dalam tiga ciri yaitu : kecepatan (waktu yang singkat), ketepatan (hasilnya sesuai yang diharapkan) dan kemudahan (tanpa mengahadapi hambatan dan kesulitan yang berarti) dalm bertindak. [17]
Semua kecerdasan yang dijabarkan di atas adalah merupakan titipan Allah SWT yang diberikan kepada setiap manusia. Hal ini terungkap dengan jelas dalam firman-Nya berikut ini:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (Q.S. At-tin: 4).
Potensi kecerdasan ini tidak akan bisa produktif kalau tidak diberdayakan secara baik. Walaupun semua orang tahu bahwa potensi yang diungkap oleh Gardner ini masih sangat perlu pengembangan dan pendalaman secara berkelanjutan. Sinergisitas kecerdasan ganda dengan kecerdasan yang lain seperti kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) adalah merupakan akumulasi puncak dari prestasi manusia dalam meraih cita-cita dan masa depan yang cemerlang. Sekarang tinggal lagi bagaimana kita mampu memberdayakan semua potensi itu sebaik mungkin, karena Allah juga sudah memberikan jaminan kepada manusia bahwa tidak ada yang sulit jika kita mau melakukannya, karena Allah tidak pernah membebankan umat di atas batas kemampuannya. [18]
Allah tidak membebankan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia medapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya…(Q.S. Al-Baqarah: 286).

Adapun teknologi yang dipakai untuk memanfasilitasi masing-masing area multiple intelligences  (Dickinson,2000) sebagai berikut :
1.      Keahlian verbal. Computer membantu murid untuk merevisi dan menulis ulang komposisi; membantu mereka menghasilkan lebih banyak lagi paper yang baik. Belajar mengetik ini sama pentingnya dengan belajar menulis dengan pensil, dan belajar menggunakan program pengolah kata sama pentingnya dengan belajar mengetik.
2.      Keahlian matematika/logika. Murid bisa belajar dengan efektif melalui program yang menarik yang memberikan umpan balik. Program semacam ini menantang murid untuk menggunakan keterampilan berfikir mereka untuk memecahkan soal matematika.
3.      Keahlian spasial. Computer membuat murid bisa melihat dan memanipulasi materi. Mereka bisa menciptakan banyak bentuk yang berbeda sebelum mereka membuat salinan akhir dari tugas. Teknologi realitas virtual dapat member murid kesempatan untuk meraih keterampilan spasial visual mereka.
4.      Keahlian tubuh kinestetik. Murid terutama memerlukan koordinasi tangan-mata untuk mengoperasikan computer-mengetik keyboard dan menggunakan mouse atau touchscreen. Aktivitas kinestetik ini membuat murid jadi partisipan aktif dalam proses belajar.
5.      Keahlian music. Perkembangan inteligensi music dapat diperkuat dengan bantuan teknologi sebagaimana kefasihan verbal diperkuat melalui program pengolah kata. Musical Instrument Digital Interface memungkinkan orang untuk membuat dan menata berbagai macam instrument music melalui computer.
6.      Keahlian interpersonal. Teknologi memberi kesempatan untuk mengeksplorasi garis pemikiran secara mendalam dan memberi akses luas untuk banyak minat personal. Murid bisa membuat pilihan dan mengontrol sendiri perkembangan intelektual dan proses belajarnya.
7.      Keahlian naturalis. Teknologi elektronik dapat memfasilitasi eksplorasi ilmiah dan aktivitas alam lainnya. Teknologi telekomunikasi dapat membantu murid memahami dunia di luar lingkungan mereka. Misalnya, National Geographic Online membuat murid bisa ikut melihat ekspidisi yang dilakukan penjelajah dan fotografer terkenal.[19]
DAFTAR PUSTAKA
Santrock John W. 2004. Psikologi Pendidikan . Jakarta : Prenadamedia Group.
Suryabrata Sumadi. 2006. Psikologi Pendidikan . Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Romlah. 2004. Psikologi Pendidikan Kajian Teoritis dan Aplikatif . Malang : Universitas
 Muhammadiyah Malang.
Romlah. 2010. Psikologi Pendidikan. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.
Yudhawati Ratna dan Haryanto Dany. 2011. Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan . Jakarta :  
            Prestasi Pustaka.
Romlah, Umi. 2011. Tes Intelegensi dan Pemanfaatannya dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Cendekia.
( Diakses tanggal 2 Maret 2017 pukul 20.15 WITA. )
Yurnalis. 2016. Motivasi Belajar Sebuah Strategi Mengungkap Potensi Kecerdasan Intelegensi
dan Emosi . Jurnal Risalah . Volume 27, No.1 ,
2 Maret 2017 pukul 20.17 WITA.)


[1] Vembrianto,dkk,Op.Cit, hal.25
[2] Dra. Romlah, M.Ag. , Psikologi Pendidikan Kajian Teoritis dan Aplikatif ( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang , 2004 ), hlm. 177-178
[3]Sumadi Suryabrata , Psikologi Pendidikan ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006 ), hlm. 135
[4] Dra. Romlah, M.Ag. , Psikologi Pendidikan Kajian Teoritis dan Aplikatif ( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang , 2004 ) , hlm. 179-182
[5]  Romlah , Psikologi Pendidikan ( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang , 2010 ), hlm. 143-144
[6] John W. Santrock , Psikologi Pendidikan ( Jakarta : Prenadamedia Group, 2004 ), hlm. 135-136
[7] Ibid,.136
[8] Umi Romlah , “ Tes Intelegensi dan Pemanfaatannya dalam Dunia Pendidikan ˮ, Jurnal Cendekia, Vol.9 No.1 , (Januari – Juni 2011), hal.131-132
[9]Dra. Romlah, M.Ag. , Psikologi Pendidikan Kajian Teoritis dan Aplikatif ( Malang : Universitas Muhammadiyah Malang , 2004 ), hlm. 187-188
[10] Ibid.,189
[11] Sumadi Suryabrata , Psikologi Pendidikan ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006 ), hlm. 153
[12] John W. Santrock , Psikologi Pendidikan ( Jakarta : Prenadamedia Group, 2004 ), hlm. 136
[13] Umi Romlah , “ Tes Intelegensi dan Pemanfaatannya dalam Dunia Pendidikan ˮ, Jurnal Cendekia, Vol.9 No.1 , (Januari – Juni 2011), hal.132-134
[14] Gardner, H. (1983). Frames of Mind. London: St Edmundsbury Press.  
[15] Ratna Yudhawati & Dany Haryanto, Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan , (Jakarta : PT Prestasi Pustaka, 2011 ), hlm. 233
[16] John W. Santrock , Psikologi Pendidikan (Jakarta : Prenadamedia Group, 2004), hlm. 140
[17] Ratna Yudhawati & Dany Haryanto, Teori-Teori Dasar Psikologi Pendidikan , (Jakarta : PT Prestasi Pustaka, 2011 ), hlm. 234
[18] Yurnalis, “Motivasi Belajar Sebuah Strategi Mengungkap Potensi Kecerdasan Intelegensi dan Emosiˮ, Jurnal Risalah , Volume 27 No.1 , ( Juni 2016 ), hal.55
[19] John W. Santrock , Psikologi Pendidikan (Jakarta : Prenadamedia Group, 2004), hlm. 143
 

Math Proof Template by Ipietoon Cute Blog Design